Mukadimah  

Posted by Admin

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, kami memuji-Nya dan memohon pertolongan serta ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejelekan diri kami dan keburukan perbuatan kami Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang menyesatkannya, dan barang siapa disesatkan-Nya maka tidak ada yang menunjukinya. Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Amma ba'du.

Sesungguhnya nikmat Allah yang sangat besar dan taufiq-Nya yang diberikan kepada saya -bagi-Nya sanjungan dan pujian- adalah proyek saya yang signifikan, yang telah berlangsung lebih dari empat puluh tahun. Dalam usaha tersebut saya bekerja dengan penuh kesungguhan dan ketekunan tanpa mengenal lelah dan bosan, yaitu "Mendekatkan Sunnah ke hadapan umat Islam" dengan cara menghilangkan mata rantai sanad yang terdapat dalam kitab-kitab Sunnah dan membedakan sanad-sanad yang shahih dari sanad yang dha'if. Usaha tersebut telah membuahkan hasil dengan terbitnya kitab Mukhtashar Shahih Bukhari jilid I dan II, sedang jilid III-nya sedang dalam penerbitan. Pentahqiqan Mukhtashar Shahih Muslim karya Al Hafizh Al Mundziri telah diterbitkan beberapa kali, yang terakhir dicetak oleh penerbit Al Maktabah Al Islamiyah. Shahihul Jaami' Al Shaghir, Dha'if Janti' As-Shagfrir, Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, Shahih Sunam Abu Daud, Shahih Sunan At-Tirmidzi, Shahih Sunan An-Nasa'i, Shahih Sunan Ibnu Majah, Dha'if Sunan Abu Daud, dan dha'if ketiga sunan berikutnya. Dengan penerbitan yang mengalami perubahan, perbaikan, dan penyajian yang kurang bagus dengan suatu kriteria yang tidak perlu dijelaskan sekarang. Hal tersebut yang mendorong kami untuk meneliti dan meluruskan kembali hal-hal yang berubah dari kitab-kitab tersebut setelah hak penerbitan dan penyebarluasannya berpindah kepada saya, yang didasarkan atas kesepakatan yang berlaku antara saya dengan Maktab At-Tarbiyah Al Arabi Al Khaliji. Hal itu dimaksudkan untuk persiapan penerbitan dengan model terbitan yang baru, dan perbaikan dengan sempurna atas izin Allah Tabaraka wa Ta'ala.

Sebagian dari usaha besar itu adalah kitab Shahih Al Adab Al Mufrad dan Dha'if Al Adab Al Mufrad karya Imam Bukhari.

Sebenarnya perhatian saya terhadap kitab Al Adab Al Mufrad mi sejak dua puluh tahun yang lalu atau lebih, yaitu semenjak saya berniat menyampaikan sejumlah pelajaran dari kitab tersebut kepada sekelompok wanita yang berjilbab. Seperti biasanya saya tidak pernah menyampaikan kepada umat kecuali hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga secara spontanitas (badihi) saya selalu berpegang teguh pada prinsip ini dalam mengajarkan kitab. Oleh karena itu, saya harus menyiapkan pelajaran dengan memilah-milah hadits dan atsar yang shahih, yang terdapat dalam kitab dari hadits dan atsar yang tidak shahih. Hal tersebut untuk memudahkan saya dalam menyampaikan hadits-yang shahih kepada para wanita itu, sebagai hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbunyi, "Agama itu adalah nasihat (keikhlasan)". Para sahabat bertanya, "Bagi siapa?" Rasul menjawab, "Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi Nabi-Nya, bagi para pemimpin umat Islam, dan orang-orang Islam yang lain." (HR. Muslim dan yang Iain, dan hadits tersebut telah ditakhrij didalam kitab Al Irwa" {26} dan Ghayatul Maraam {332})

Kemudian terjadilah hal-hal yang mengganggu dalam mengajarkan hadits tersebut sehingga sempat terhenti. Namun saya tetap konsisten dalam memilah-milah hadits-hadits yang telah saya sebutkan di atas dalam kondisi yang beraneka ragam, sehingga proyek tersebut selesai -pada tanggal 8 Jumadil Ula Tahun 1394 ketika saya sedang berada di Damaskus.

Kemudian saya pindah ke Oman dan menelaah ulang hasil pemilahan tersebut secara keseluruhan. Lalu saya memeriksanya dengan teliti dan saya pisahkan hadits yang dha'if pada bagian tersendiri, dan hadits yang shahih pada satu jilid tersendiri pula. Dalam kedua buku hadits tersebut saya tulis komentar-komentar yang berguna dan keterangan-keterangan yang berharga dari segi isi kandungan hadits, fikih, dan bahasanya, yang sebagiannya saya kutip dari kitab Fadhlullahi As-Shamad fi Taudhihi Al Adah Al Mufrad karya Syaikh Fadhlulah Al Jailani, dan kitab tersebut merupakan satu-satunya syarah dari kitab Al Adab Al Mufrad yang besar ini.

Begitulah, dan yang telah diketahui oleh para ahlul ilmi, bahwa kitab Imam Bukhari ini tidak termasuk didalam kitab Al Musnad Ash-Shahih (Shahih Bukhari) dengan judul Kitab Al Adab, demikianlah yang disebutkan secara muthlak tanpa qayid (batasan) atau kata sifat, maka perkataan Al Bukhari, Al Mufrad itu merupakan kata sifat yang membedakan dengan Adab yang terdapat dalam kitab shahihnya, karena banyaknya pembahasan yang ada didalam kitab Al Adab Al Mufrad tersebut. Dalam kitab ini hadits-hadits yang marfu' dan atsar-atsar yang mauquf mencapai 1322 sesuai dengan urutan nomor yang disusun oleh Al Ustadz Muhammad Fuad Abdul Baqi. Berbeda dengan jumlah hadits yang terdapat dalam kitab Adab Shahihnya yang hanya mencapai 256 hadits. Sebagian hadits-hadits tersebut disebutkan berulang-ulang. Saya tidak melihat sedikitpun atsar-atsar yang mauquf dalam Adab Shahih tersebut, kecuali atsar-atsar yang disebutkan dalam sebagian hadits-hadits yang marfu'. Hadits-hadits ini semuanya telah disandarkan dalam 128 bab (sebagai pelengkap). Sedang jumlah bab yang terdapat dalam kitab Al Adab Al Mufrad sebanyak 644 bab, dan setelah dikurangi hadits-hadits dan atsar-atsar yang dha'if, maka jumlah bab yang hadits-hadits shahih berjumlah 559 bab dan 994 hadits dan atsar. Sementara dalam hadits dan atsar yang dha'if terdapat 190 bab dan 219 hadits dan atsar.

Dengan penjelasan ini, dapat diketahui oleh para pembaca yang budiman peranan kitab Al Adab Al Mufrad dari segi:
  1.  Banyaknya pembahasan dan hadits serta atsar yang shahih.
  2. Sedikitnya hadits dha'if, dengan perbandingan kurang lebihnya 4:1.
  3. Penyeleksian hadits-hadits yang shahih dari hadits-hadits yang dha'if.
Sehingga orang-orang yang mengamalkan/ mengaplikasikan etika-etika yang terdapat dalam kitab Al Adab Al Mufrad senantiasa berada di atas hujjah yang nyata, sebagaimana firman Allah, "Katakanlah, 'Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.'" (Qs. Yusuf(12):108)

Untuk melengkapi kesempurnaan isi buku ini, saya menyebutkan sebuah kata pengantar yang menjelaskan tentang kedudukan kitab Al Bukhari ini yang ditulis oleh Al Allamah Abdurrahman Al Yamani rahimahullah sebagai guruku, dia berkata,1 "Para cendikiawan muslim yang mukhlisin telah menyatakan bahwa kebanyakan terjadinya kelemahan, kehinaan, kekerdilan, dan serangkaian kemunduran yang dialami oleh umat Islam adalah karena jauhnya mereka dari esensi ajaran Islam yang benar, dan saya melihat bahwa hal itu kembali kepada permasalahan-permasalahan berikut:
  1.  Mencampur-adukan masalah-masalah yang bukan dari agama dengan permasalahan yang merupakan bagian dari agama.
  2. Lemahnya keyakinan terhadap masalah-masalah yang menjadi bagian dari agama.
  3. Tidak melaksanakan hukum-hukum agama.
Saya melihat bahwa mengetahui adab Nabi yang benar (yang sudah diajarkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Penerj-) dalam bidang ibadah dan pergaulan (muamalah), baik ketika di rumah dan di perjalanan, bergaul dan sendirian, bergerak dan berdiam diri, terjaga dan tidur, makan dan minum, ketika berbicara dan diam, dan Iain-lain dari masalah-masalah yang dihadapi manusia dalam kehidupannya, sambil betul-betul berusaha mengamalkannya sesuai dengan kemampuannya merupakan satu-satunya obat bagi penyakit-penyakit yang telah disebutkan di atas. Kebanyakan adab-adab Nabi tersebut mudah diterima oleh jiwa, apabila seseorang melaksanakan adab-adab Nabi yang mudah yang sesuai dengannya, serta meninggalkan apa yang bertolak belakang dengannya. Jika demikian, maka insya Allah dia dapat meningkatkan amalannya dalam menerapkan (Adab-adab Nabi). Setelah itu dalam beberapa lama dia akan menjadi tauladan dalam masalah agama bagi yang lain. Dengan merujuk kepada petunjuk mulia dan beretika dengan etika yang luhur tersebut -meski hanya sampai batas-batas tertentu- yang dapat menerangi hati, melapangkan dada, menenangkan jiwa, serta semua hal tersebut dapat menambah keimanan dan memperbaiki perbuatan. Jika orang-orang banyak menempuh jalan ini, maka penyakit-penyakit tersebut tidak lama lagi akan hilang, insya Allah.

Kitab hadits yang sangat luas cakupannya terhadap adab-adab Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah kitab Al Adabul Mufrad karya Imam Muhammad bin Ismail Al Bukhari rahimahullah. Popularitas Imam Bukhari bagaikan matahari diseperempat hari (antara pagi menjelang siang, ed-) dan karangan-karangannya sangat bagus dan dapat dipercaya. Kitab Al Adabul Mufrad adalah kitabnya yang paling baik setelah {Al Jami' Ash-Shahih) untuk dijadikan pedoman bagi yang ingin mengikuti Sunnah, karena Imam Bukhari telah mengumpulkan (hadits-hadits) lalu menyimpannya dengan penuh kehati-hatian dan ketelitian. Akan tetapi umat Islam tidak memperhatikan keutamaan kitab ini. Naskah-naskahnya yang masih berupa manuskrip sangat langka sekali, padahal sudah diterbitkan berulang kali, tetapi hampir selalu tidak ada, karena dalam sanad dan matan naskah tersebut banyak kesalahan hanya dapat diketahui kecuali oleh mereka yang memiliki keilmuan yang tinggi."

Saya menyimpulkan bahwa ini adalah kata pengantar yang bagus dan mendalam dari seorang pakar dibidang ilmu hadits, yang mengetahui kedudukan dan keutamaan kitab-kitab Sunnah dan pengaruhnya dalam menyatukan umat menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sesungguhnya mengamalkan hadits-hadits yang menerangkan hukum-hukum dan etika-etika yang benar merupakan satu-satunya obat terhadap penyakit kehinaan dan kemunduran yang menimpa umat Islam, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

"Apabila kalian jual-beli dengan 'lnah dan kalian sibuk dengan urusan dunia serta rela dengan bercocok tanam, lalu kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan memberikan kehinaan kepada kalian dan Allah tidak akan mencabutnya sehingga kalian kembali kepada agama kalian."2

Apabila prinsip yang sudah dipastikan kebenarannya adalah "Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah adalah Islam", dan ia tidak mungkin dipahami sebagaimana yang dikehendaki Allah kecuali melalui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tidak ada jalan lain bagi kita untuk memahami Islam kecuali dengan mengetahui Sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, serta memahami hadits-haditsnya. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban orang-orang Islam, baik para penguasa, rakyatnya, para da'i, dan umatnya, untuk meyakini bahwa tiada jalan bagi kita untuk merealisasikan keamanan dan keadilan, menegakkan hukum Allah di muka bumi ini -sebagaimana yang kita dakwahkan- kecuali dengan mengajak umat kepada Sunnah dan mengamalkannya. Mendidik umat Islam dengan Sunnah dan bukan dengan hukum serta undang-undang buatan manusia, juga bukan dengan pendapat-pendapat mereka dan prinsip-prinsip yang bersifat kelompok (Hizbi). Hal yang demikian hanya akan menambah perpecahan umat dan menjauhnya mereka dari tujuan yang dicapai. Allah berfirman, "...Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah *Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap gohmgan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka." (Qs. Ar-Ruum (30): 31-32). "Katakanlah, 'Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang musyrik."' (Qs. Yuusuf (12): 108)

Jika persoalannya seperti itu, maka saya memuji Allah atas taufik yang diberikan-Nya kepada saya sejak enam puluh tahun yang lalu. Saya telah berdakwah untuk mengajak umat menerapkan As-Sunnah dengan cara menulis (mengarang), mentahqiq (meneliti), mengajar, dan menghidupkan Sunah-sunnah yang dikaji dengan disepelekan dan tanpa ilmu. Sebagaimana disaksikan oleh realitas dunia Islam dengan kebangkitan Islam yang ilmiah, yang saya harapkan dengan disertai pendidikan Islam salafiah yang benar dari para ulama yang mulia, yang menjalankan dakwah tersebut.

Kemudahan yang selanjutnya yang merupakan taufik ilahi yang diberikan Allah kepadaku, yaitu perhatianku terhadap kitab Al Bukhari Al Adab Al Mufrad ini, dan memilah antara hadits shahih dengan Hadits dha'if, seperti halnya kemudahan yang pernah diberikan-Nya kepada saya sebelumnya, yaitu mendekatkan kitab Al Bukhari yang besar Al fami' Ash-Shahih kepada umat Islam dan memudahkan dalam memanfaatkan kitab Shahih tersebut dengan cara membuang sanad-sanad yang ada dan sanad-sanad yang diulang-ulang, juga memelihara semua hadits-haditsnya, menambahkan matannya, memberikan komentar, serta intisari yang diperlukan. Saya tulis dengan gaya bahasa ilmiah yang mendalam dan langka, sebagaimana telah dijelaskan di mukaddimah ringkasan kitab Al Jami' Ash-Shahih yang akhirnya menjadi rujukan bagi kami dalam meneliti hadits-hadits dan atsar-atsar yang shahih. Kitab Shahih yang berada di hadapanmu ini (wahai pembaca), termasuk bukti-bukti atas hal itu, maka hanya bagi Allah segala puji dan syukur, serta anugerah yang luas.

Usaha dan pengabdian saya tersebut sebenarnya telah didahului oleh Syaikh Fadhlullah Al Jailani yang telah menerangkan kitab Al Adab Al Mufrad tersebut, mengomentari sanad-sanadnya, matan-matannya, dan mengeluarkan hadits-haditsnya yang marfu', seperti yang saya jelaskan sebelumnya. Oleh karena itu Syaikh Al Allamah Abdurrahman Al Yamani menyanjungnya dalam kata pengantarnya, karena beliau merupakan pakar dan ahli dalam bidang keilmuan itu. Tetapi saya melihat tidak ada gunanya apabila hal itu disebutkan, karena nampak bagi saya bahwa Syaikh Fadhlullah tidak mengkajinya secara mendalam dari semua segi. Jika tidak demikian, maka niscaya dia memberi isyarat -sekalipun selintas- kepada kelemahan-kelemahan/ kekurangan-kekurangan yang ada dalam kitab tersebut. Terlebih lagi hal-hal yang berkaitan dengan takhrij hadits, sebagaimana komentar yang akan dijelaskan kemudian. Temyata saya telah mendapatkan kesalahan-kesalahan, yang menandakan bahwa Syaikh Fadhlullah tidak termasuk seorang hafizh yang mengetahui ilmu ini dan asal-usulnya. Disamping itu, dia membiarkan banyak hadits yang belum jelas kedudukannya antara shahih atau dhaif. Syaikh Fadhlullah, sebagaimana yang dialami oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, pentahqiq kitab asli yang saya jadikan rujukan dalam meneliti hadits ini, terbitan As-Salafiyah tahun 1375 H.

Berikut ini contoh dari beberapa bentuk dan macamnya:

  1. Hadits nomor asalnya (196) yang dinisbatkan kepada Bukhari, padahal tidak terdapat padanya perkataan, "Taquulu Imraatuka,Anfiq Alayya aw Thalliqni". Padahal hadits tersebut terdapat pada Imam Bukhari mauquf pada Abu Hurairah. Oleh karena itu, saya meletakkannya di dalam kitab Dhaif Al Adab Al Mufrad, dan saya menyebutkanya dalam kitab Shahih Al Adab Al Mufrad, tanpa tambahan. Disana juga terdapat contoh kesalahan lainnya. Lihat nomor-nomor berikut ini dalam kitab tersebut: (352, 397, 401, 499, 508, 507, 543, 599, 643, 717, 724, 735, 769, 796, 821, 841, 914, 943, 944, 946) dan yang lain.
  2. Hadits (352) dinisbatkan kepada selain Bukhari-Muslim, padahal hadits tersebut terdapat pada keduanya. Jika engkau menginginkan, maka lihatlah nomor hadits berikut (260, 506 dan 657).
Ada juga kelemahan-kelemahan lainnya, seperti hadits yang dinisbatkan kepada orang yang meriwayatkan hanya potongannya saja. Contoh hadits (196,591) atau hadits mauquf, lalu hadits tersebut dinisbatkan kepada orang yang meriwayatkan hadits marfu', maka pengangkatannya tersebut adalah dhaVf, seperti (208) dan kadang-kadang hadits itu dinisbatkan kepada orang yang tidak meriwayatkannya sama sekali. Akan tetapi dia telah meriwayatkannya dari dua orang sahabatnya hadits lain yang diriwayatkannya, seperti (897). Terkadang penisbatannya terhadap satu kelompok yang tidak meriwayatkannya sama sekali (914), serta terkadang penisbatannya itu benar, tetapi dalam Shahih Bukltari hal itu merupakan perbuatan Rasul shallallahu 'alaihi wasallam, padahal hadits tersebut -dalam kitabku- merupakan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, seperti Hadits (920)

Banyak lagi kelemahan-kelemahan yang lain, yang akan diberi peringatan tersendiri. Nomor-nomor penting dari kelemahan-kelemahan tersebut yaitu: (532, 539, 556, 576, 619, 630, 669, 698, 714, 721,827,894,897, 938,940).

Ada juga kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam bahasa dan pentahqiqan, diantara contoh-contoh yang terpenting adalah sebagai berikut:
  1. Dalam sanad hadits (596) nama sahabat perawi hadits tidak disebutkan, maka salah seorang tabi'in yang meriwayatkannya menjadi sahabat yang hidup bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallatn. Muhammad Fuad Abdu Baqi juga mengalami kesalahan ini dan kesalahan lainnya, yang akan diterangkan selanjutnya.
  2.  Dalam hadits (702/914) lafazh "Al Haam" berubah menjadi "Al-Hawaam". Makna kedua kata ini berbeda. Kemudian Al Jailani menafsirkan lafazh yang kedua dengan arti lafazh yang pertama, yang menandakan kelemahannya dalam bahasa Arab.
  3. Hadits (741/963) dari Utay bin Dhamrah, dia berkata, "Aku melihat seorang laki-laki di sisi bapakku". Hadits tersebut ditakhrij oleh Syaikh Al Jailani dari riwayat sekelompok para rawi dari Utay, dan beranggapan bahwa Dhamrah adalah sahabat yang meriwayatkan hadits. Perkataan "Abi" dalam hadits tersebut yang dimaksud adalah ayahnya (Utay-ed.)! Kelemahan ini telah diterangkan oleh pentahqiq kitab Muhammad Fuad Abdul Baqi sebelumnya, yang mengisyaratkan dengan perkataannya bahwa Dhamrah adalah orang tua Utay, lalu dia berkomentar bahwa (sahabat ini tidak disebutkan dalam periwayatanku) tetapi dia adalah Ubay bin Ka'ab yang sudah masyhur. Anehnya, Al Jailani menisbahkannya kepada Musnad Ahmad, sedangkan dia meriwayatkannya dari Musnad Ubay bin Ka'ab! dan juga menurut periwayatan Ath-Thahawi. Sementara kitab Musykilul Atsar (4/237) telah menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah Ubay bin Ka'ab. Semua ini menunjukkan bahwa dia mengutip takhrij dari sebagian kitab-kitab takhrij, dan tidak merujuk kepada kitab-kitab aslinya.
  4.  Hadits (762/991) "Haqqul Muslimi ...Sittun...." Tertulis dalam kitab aslinya adalah kata Khamsun. Demikian juga dalam naskah yang menjelaskan kitab Al Jailani. Semuanya terjadi kesalahan yang jelas secara rasional maupun riwayat, maka lihatlah komentar yang ada.
  5.  Hadits (805/1054) dari Ummi Shubayyah ...., dalam hadits ini terjadi manipulasi nama oleh pentahqiq dan yang menjelaskannya, dirubahnya menjadi Ummu Habibah, dan keduanya tidak menjelaskannya. Oleh karena itu pentahqiq tidak mentakhrij haditsnya, dan yang menjelaskan (pensyarahnya) tidak menjelaskan hadits tersebut, dan ini berbeda dengan kebiasaannya. Padahal dia menisbatkannya kepada Abu Daud dan Ibnu Majah, dan hadits itu menurut keduanya -sama seperti yang lain- dari Ummu Shubayyah. Ini menegaskan perkataan saya terdahulu, bahwa dia tidak kembali kepada kitab-kitab asli.
  6.  Hadits (913/1203) terdapat kata, "Rabbi Kulla SyaHn wa Malikihi". Dalam kitab asli dan syarahnya terdapat, " Bikaffaika" menggantikan "Maliikahu". Anehnya hal itu tidak diketahui oleh Syaikh Al Jailani, padahal doa ini sangat masyhur dan telah ditakhrij dalam beberapa kitab hadits yang sudah masyhur, saya telah menerangkan lima belas referensi yang anda akan ketahui.
Kelemahan dan kesalahan lainnya akan saya berikan tanda peringatan pada posisinya, dan barang siapa hendak melihat, maka lihatlah nomor-nomor berikut dari kitab Shahih Al Adab Al Mufrad ini: (229, 306, 310, 320,341, 353, 387, 405, 441, 467, 493, 499, 540, 571, 572, 616, 674,677, 687, 720, 721, 734, 749, 765, 803, 817, 821, 822, 845, 846, 875,894,934).

Contoh-contoh yang telah diterangkan sebelumnya -dan contoh-contoh lain yang akan disebutkan dengan disertai komentar pada nomor hadits yang telah dijelaskan- para pembaca yang budiman dapat mengetahui bahwa Allah Subahanahu wa Ta'ala telah memberikan taufik-Nya kepada saya untuk menjelaskan kitab ini bukan hanya dari segi pemilahan yang shahih dari yang dha'if, melainkan juga dari segi mengidentifikasi kebanyakan teks (nash) dan para perawinya, mentashih para perawi dan penulis naskahnya. Orang-orang yang perhatiannya tercurahkan secara khusus berpuluh-puluh tahun tidak mampu melaksanakannya sampai Pentahqiqan kata-katanya dalam sanad dan matan sehingga tertulis dengan benar.

Meskipun banyak kesalahan-kesalahan yang tampak bagi saya dalam Syarah Syaikh Al Jailani ketika saya memilih Shahih Al Adab Al Mufrad dan "Dha'if Al Adab Al Mufrad, tetapi saya memuji beliau, karena beliau tidak dalam memilah-milah hadits shahih dan dha'if yang bukan termasuk spesialisasinya. Beliau sesekali mengomentari sebagian para perawi, dan semua itu dilakukannya karena kesadarannya akan susahnya hal tersebut, kecuali bagi mereka yang mempunyai spesialisasi dalam bidang tersebut.

Inilah sebab sedikitnya ulama mutakhirin yang melakukan kritik dan membedakan antara hadits shahih dan hadits dha'if. Berbeda dengan kondisi yang dihadapi oleh para pelajar sekarang, dimana mereka menganggap gampang ilmu ini, dan tidak menghargainya sebagaimana mestinya. Mereka banyak mengarang dan menulis buku dalam masalah ini, sehingga terjadi banyak kesalahan, yang menyulitkan untuk mendeteksi serta mencari letak kesalahan dan kepalsuannya. Contoh-contoh tersebut banyak sekali, tetapi para pembaca bisa menemukan contoh kesalahan tersebut dalam kitab say a (yang baru).

Pada kesempatan ini ada baiknya untuk menjelaskan dua contoh dari dua buku yang baru diterbitkan:

1.  Kitab Shahih Al Adah Al Mufrad karya Muhammad Husaini Afifi, terbitan Daar Al Khani, Riyadh, Cet. 1,1409 H/1988 M.

Saya tidak pernah mendengar nama Afifi, dan saya mengira itu nama samaran. Saya juga tidak mengetahui siapa pemilik penerbitan itu. Bisa jadi dia adalah orang yang memberi rekomendasi kepada salah satu karyawan kontraknya untuk menulis kitab ini supaya bisa memberikan kesibukan kepada karyawan penerbit tersebut, tanpa memperdulikan ketidaktahuan dan kesembronoannya terhadap hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Telah disebutkan dalam mukaddimahnya (hal. 8) seperti berikut, "Saya telah memisahkan hadits-hadits yang shahih dalam kitab tersebut, dan menemukan sepuluh hadits hasan "! Demikianlah redaksi yang dikeluarkannya tanpa menyebutkan dasar-dasar kaidah dan metode yang digunakan dalam memilih hadits-hadits tersebut. Apakah itu berdasakan kaidah-kaidah ilmu hadits dan ilmu Al Jarh wa At-Ta'dil atau tidak? Dia tidak menggunakan metode tersebut, karena banyak sekali hadits dha'if yang terdapat dalam kitab tersebut, yang akan dijelaskan nanti. Atau dia hanya bersandarkan pada pendapat sebagian ulama dan ahlul hadits, maka sudah selayaknya dia harus menyebutkan nama mereka, juga nama pengarang kitab yang dijadikan acuannya. Tetapi ketentuan ini semua tidak diperhatikannya. Atau dia berpegang dengan pendapatnya sendiri, sehingga terjadi pembenaran sesuai dengan kebodohannya atau sesuai dengan perasaan dan hawa nafsunya. Ini merupakan bencana yang besar, karena metode tersebut terkesan tidak Islami, sebagaimana yang diketahui oleh orang-orang yang berakal.

Dalam kitab Al Adah Al Mufrad tersebut, penulisnya telah memilih lima ratus (500) hadits. Jumlah itu mendekati jumlah hadits shahih yang terdapat dalam kitab shahih saya ini. Dia membuang sanad-sanad hadits tersebut tanpa ditakhrij atau tanpa dikomentari, maka pekerjaan ini pekerjaan yang dapat dilakukan oleh anak SD!. Oleh karena itu, dalam masalah tersebut telah terjadi kesalahan yang menandakan bahwa dia orang bodoh yang merasa kenyang sebelum makan, maka saya merasa perlu untuk menerangkan kesalahan tersebut, di antaranya:
  • Dalam kitab tersebut terdapat kurang lebih dua puluh hadits dha'if yang tidak sesuai dengan statementnya, bahwa hadits tersebut shahih. Hadits-hadits tersebut akan saya tunjukan dalam mukaddimah kitab DhaifAl Adah Al Mufrad, Insya Allah.
  • Pada halaman (104) dia menyebutkan hadits, "Haqqul Muslimi...Sittun..." dengan redaksi, "Khamsun". Itu adalah kesalahan yang fatal, sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya (hal. 13).
  • Pada halaman 84, dia melakukan kesalahan seperti kesalahan yang dilakukan Al Jailani dan Ibn Abdul Baqi, dimana dia menjadikan seorang tabiin sebagai seorang sahabat ! (Lihat hadits pertama, hal. 12)
  • Pada halaman 119 terdapat lafazh 'Bikaffaika' berada pada tempat 'Wamalikuhu'. Kesalahan yang sama telah dilakukan oleh dua pengarang di atas. Lihat hadits keenam (hal. 13).
  •  Dia tidak menyebutkan hadits yang telah disepakati keshahihannya dengan lafazh, Al Fithratu Khamsun, Al Khitan...., melainkan pada halaman 123 dia menyebutkannya dengan lafazh As-Siwaku pengganti dari Al Khitanu. Itu adalah sesuatu yang dibenci (mungkar), seperti yang telah saya terangkan dan tandai di bawah lafazh pertama, yang akan disebutkan kemudian, dengan nomor 975/1292, dan saya menyebutkannya dalam kitab Ad-Dhaif dengan lafazh yang berbeda (202/1257).
  • Pada halaman 124 dia berkata, "An Abi Buraidah An Abihi, Anin-Nabiyyi shallallahu 'alaihi wasallam....", lalu dia menyebutkan hadits berikut (959/1271). Sebenarnya Abu Buraidah tidak termasuk para perawi hadits ini, hal itu disebabkan kebodohannya tentang biografi para perawi hadits, dan hanya mengikuti kitab-kitab yang terbit yang belum ditahqiq. Kesalahan seperti ini juga terjadi dalam kitab Al Adab Al Mufrad yang ditahqiq oleh Ibnu Abdul Baqi nomor 1271. Yang benar bahwa Ibnu Buraidah bernama Sulaiman ibn Buraidah, seperti yang telah dijelaskan didalam kitab Shahih Muslim dan lainnya. Sedangkan Buraidah sendiri anak dari Al Hushaib, seorang sahabat yang masyhur. Kemudian apa fungsi dia memulai hadits dari Ibnu Buraidah?, Bukankah dia telah membuang nisbah (Ibnu) dan memulai dari kata (Buraidah)?, sebab teori itu merupakan cara meringkas sanad (jika dia mengetahui)?
  • Pada halaman 62 dia menyebutkan hadits Abu Asma' (407/521), dengan menyebutkan potongan pangkal matan hadits, padahal potongan tersebut mauquf, dan dia tidak menyebutkan hadits itu secara sempurna yang jelas-jelas marfu', tapi dia menyebutkan mutabi' yang mauquf dengan ucapannya, "Hadits itu diriwayatkan secara marfu' kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam"
Ini akan membawa dampak negatif dan beberapa bencana:
  • Dia menggunakan matan hadits tersebut secara ngawur (tidak benar), yang dapat menghilangkan faidah bagi para pembaca, yaitu menjadikan hadits itu hadits marfu' dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu apa yang terjadi jika disebutkan hadits tersebut secara sempurna, yaitu (Saya mengatakan, "Kepada Abu Kilabah," tentang siapa yang berbicara kepada Abu Asma?" Dia menjawab, "Dari Tsauban, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam?"
  • Tindakannya itu akan merusak makna, memberi kesan negatif kepada para pembaca bahwa hadits tersebut maqthu' mauquf kepada Abu Asma' dan dia seorang tabiin. Sekiranya hadits ini diriwayatkannya secara marfu' kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka niscaya hadits itu menjadi mursal. Sementara mursal termasuk bagian dari hadits dha'if menurut ulama hadits. Bagaimana kondisi ini, sementara hadits itu mauquf sesuai dengan pernyataan yang disampaikan orang yang sembrono terhadap hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam?
  • Perkataannya, "Wa Ruwia Marfu'an " (Dan telah diriwayatkan secara marfu') mengisyaratkan bahwa hadits tersebut dha'if, karena redaksi "Ruwia" termasuk sighat (kata) yang menunjukkan kelemahan menurut para pakar hadits. Kenyataannya hadits tersebut shahih, diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya. Apakah dia mengetahui semua permasalahan ini ?Sekiranya anda tidak tahu, maka itu musibah, dan sekiranya anda tahu maka musibahnya lebih besar.
  • Hadits-hadits yang tidak disebutkan dalam kitabnya memberikan kesan kepada para pembaca bahwa hadits tersebut semuanya dha'if. Itu adalah suatu kebohongan yang tidak bisa diterima realita yang ada, karena kenyataannya ada beberapa hadits shahih lain yang tidak disebutkan olehnya, sebab ketidaktahuannya atau pura-pura bodoh akan hadits tersebut -dan manisnya keduanya adalah pahit- seperti hadits Anas yang menerangkan tentang ketidaksenangannya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri.... (no. 724/946) dan hadits (741/963), "Man Ta'azza bi 'Azaa'il Jahiliyyah..". Selain itu banyak hadits lain, seperti Hadits Ibnu Abbas, "Al Hadyu
As-Shalih, Wa.. Juz'un Min Khamshatin wa 'Isyrina Juz'an Minan Nubuwwah" (nomor 607/791), dan ketika dia tidak menyebutkan hadits ini dalam kitabnya, maka dia menyebutkan gantinya pada halaman 85, dan itu termasuk hadits yang tidak shahih dari hadits Ibnu Abbas yang tertulis dengan dengan lafazh Sab'ina sebagai gantinya Khamsatin wa 'Isyriina. Lihatlah Dha'if Al Adah Al Mufrad (nomor 72/468).

Bukan hanya ini saja, tetapi dia mengulang-ulang hadits dha'if ini dalam kitabnya, sehingga dia menyebutkanya pada halaman (57) juga, sebagaimana dia mengulang-ulang hadits yang lain dalam satu halaman, seperti hadits Abu Hurairah (halaman 26) dan hadits Suwaid ibnu Muqarrin (halaman 28), disamping hal-hal selain itu, dan illat-illat yang samar yang tidak diketahui kecuali oleh para pakar ilmu (hadits), seperti tambahan Ama wa Abika dalam hadits yang disebutkan (halaman 84-85), karena tambahan tersebut adalah tambahan yang ganjil (Syadz). Barang siapa tidak tahu akan hal-hal yang jelas dan terang tersebut, maka terhadap ilat-ilat yang samar semacam ini dia lebih buta lagi. "Barang siapa tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, maka dia tidak mempunyai cahaya sedikitpun." (Qs. An-Nuur (24): 40)

Sebagian hal yang menunjukkan ketidaktahuan orang tersebut -dan dia telah melakukan pekerjaan yang tidak mampu dilakukannya dan targetnya bisnis murni bukan keilmuan yang bermanfaat- indeks yang ditulis dalam kitabnya. Dia telah memberi judul indeks tersebut dengan judul Fihrisu Awaailil Ahaadits wal Atsar (Indeks Permulaan Hadits dan Atsar).

Semua ini adalah kebohongan yang terungkap, karena kitabnya tidak memuat sedikitpun dari atsar yang pada dasarnya ada dalam kitab Al Adab Al Mufrad yang berjumlah ratusan. Ini dari saru sisi.

Dari sisi yang lain, sesuai dengan kebiasaan yang sudah umum di antara para pengarang, mereka membuat nomor-nomor unit pada permulaan-permulaan hadits yang ada dalam kitab untuk memudahkan para pembacanya. Adapun dia tidak melakukannya, melainkan dia meletakan hadits-hadits asalnya Al Adab Al Mufrad pada akhir hadits-haditsnya. Kemudian dia mengulangi hal itu pada ujung Hadits pada indeks!. -Pada permulaan indeks- sebagai suatu contoh, "Amin, Amin, Amin 646", nomor ini adalah nomor yang ask!, apabila seorang pembaca ingin merujuk ke hadits, maka dia harus meneliti nomor-nomor akhir hadits, bukan nomor-nomor awal hadits. Apakah ini pekerjaan orang Ahlus Sunnah atau orang Syi'ah?

Komentar ini merupakan akhir kritikan atas kitab yang pertama, dari dua contoh yang telah disebutkan di awal tadi.

Adapun contoh lain yaitu Kitab Al Adab Al Mufrad terbitan baru, tahqiq, takhrij, dan komentar Falah Abdurrahman Abdullah, Juz I, cetakan I (1408 H/1988 M), diterbitkan oleh percetakan Al Hawadits Baghdad.

Saya juga sering mendengar nama yang disebutkan ini, dan saya belum membaca transkrip lain kecuali juz yang ada pada saya ini, lebih kurang dua ratus halaman, dan hadits-haditsnya hanya sampai pada nomor 148. Sedangkan Mukaddimahnya saja sebanyak 72 halaman dan kebanyakannya Naql (kutipan), maka tidak perlu dibicarakan. Akan tetapi, semua ini hanya bertujuan untuk sekedar memberikan nasihat kepadanya dan orang-orang semacamnya agar tidak berkomentar sebelum mempersiapkannya, dan juga untuk para pembaca yang terkadang mengira bahwa setiap tulang berisi daging dan setiap kitab berisi ilmu. Sementara mereka tidak mengetahui bahwa dalam kebanyakan lemak ada racunnya.

Sungguh saya telah menemukan kesalahan-kesalahan yang aneh dalam komentar-komentar orang ini. Walaupun kesalahan tersebut kecil jumlahnya tetapi besar bentuknya, dimana kesalahan tersebut menunjukkan bahwa dia bukan ahli dalam bidang tahqiq, takhrij, dan dalam ta'liq yang telah dia lakukan tersebut. Aku berkata seperti ini, padahal aku melihat dia banyak menyalin dari pendapat-pendapat saya, yang disalinnya dari kitab-kitab yang saya tulis. Barangkali dia yang mempersembahkan (menulis persembahan) juz tersebut. Saya hanya dapat berkata (kemungkinannya dia), karena tanda tangannya dibawah persembahannya tidak terbaca. Namun hal itu tidak menghalangi saya untuk menyingkap kebenaran yang saya telah yakini dengan terang-terangan, meski itu berat. Sebagaimana wasiat Nabi shalallallahu 'alaihi wa sallam kepada Abu Dzarr, sambil berkata, "Rasulullah telah memerintahkan kepadaku agar aku berkata benar, sekalipun itu pahit".

1. Dia menulis (hal. 39-40) atsar (riwayat) melalui jalur (sanad) Abu Al Khair seraya berkata, "Kami bertanya kepada Uqbah ibnu Amir ...", setelah itu dia berkata, "Sanad tersebut shahih sampai kepada Abu Khair, yang mempunyai nama asli Zuhair ibnu Harb". Seperti itulah konteks kalimat dalam perkataannya, yang merupakan kebodohan yang tak terhingga. Sedangkan sebenarnya Abu Khair adalah seorang tabiin seperti yang anda lihat, sementara Zuhair Ibnu Harb lahir pada tahun (160), dan Uqbah wafat kira-kira pada tahun 60-an! Bagaimana mungkin dia bertanya?

Kemudian Zuhair mempunyai kuniyah (julukan) Abu Khaitsamah, sehingga terjadi Iltibas (kesamaran) dalam dirinya dengan kuniyah Abu Khair. Abu Khair adalah seorang tabiin yang masyhur dengan Martsad ibnu Abdullah Al Yazani, dia banyak meriwayatkan dari Uqbah ibnu Amir radhiyallahu 'anhu. Lalu siapa yang dengan kebodohannya terhadap para perawi dengan mudahnya mengetahui siapa Abu Khair dari beberapa kitab yang menerangkan tentang para perawi. Kemudian bagaimana dia bersikukuh terhadap ilmu ini, dimana para ulama menjauhinya karena sulitnya permasalahan tersebut. Mudah-mudahan Allah memberikan rahmat-Nya kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam yang membawa berita bahwa diantara tanda-tanda kiamat adalah seorang yang hina (tidak berilmu) berfatwa.

2. Dia berkata (hal. 53) "Dan Israil mendengar Abu Ishak sebelum bercampurnya (ingatannya menjadi rancu)."

Saya berkata, "Sebenarnya yang benar yaitu perkataan yang bersebrangan dengan lafazh tersebut, yang dilontarkan oleh para kritikus yang terdiri dari para huffazh. Imam Ahmad, Ibnu Ma'in, dan Al 'Ijli termasuk orang yang mendengar dari Amr setelah adanya kekacauan didalam hadits. Hal itu tidak menafikan bahwa Imam Bukhari dan Muslim telah mengeluarkannya dari riwayat Amr, dari kakeknya, sebab tidak menutup kemungkinan bahwa Al Bukhari dan Muslim tidak menemukan riwayat Ahmad tersebut dan perkataan yang lainnya. Atau keduanya menemukannya tetapi keduanya menyaring haditsnya dari hadits yang jelas keautentikannya menurut para ulama-ulama yang mempunyai kredibilitas, karena Amr pada waktu awalnya hafizh. Jadi kesimpulannya, tidak ditolak periwayatan keduanya tentang hadits Amr dengan adanya ucapan orang yang menetapkan periwayatannya dari kakeknya setelah terjadi perubahan. Dikarenakan seorang hafizh akan menjadi hujjah bagi orang yang tidak hafizh, dan orang yang tahu akan menjadi hujjah bagi orang yang tidak tahu.

3. Dia mendhaifkan sanad Atsar Ibnu Abbas berikut (nomor 4) yang periwayatannya dari Zaid ibnu Aslam dari Atha' ibnu Yasar dengan perkataannya (hal. 79), "Zaid ibnu Aslam tsiqah dan Mudallis dan dia meriwayatkan hadits secara 'An'anah."

Saya mengatakan bahwa begitu pula persepsi yang dikatakannya -Mudah-mudahan Allah memberi petunjuk kepadanya- dan itu terjadi karena kebodohannya terhadap ilmu ini, serta baru mengenal ilmu tersebut. Karena saya tidak mengetahui seorang ulama, baik zaman dahulu atau sekarang mendiskriminasikan hadits yang diriwayatkan Zaid dari selain sahabat dengan tadlis seperti yang dilakukan oleh kejadian tersebut. Betul, Zaid telah dituduh tadlis, tetapi dari sebagian sahabat. Oleh karena itulah Al Hafizh Ibnu Hajar menyebutkannya pada urutan pertama dari tingkatan para pelaku tadlis. Tingkatan-tingkatan itulah yang dia prioritaskan dengan istilah, "Orang yang tidak disifati dengan sifat tersebut kecuali sedikit (langkah) seperti Yahya ibnu Said Al Anshari". Padahal para ulama telah sepakat menggunakan hadits 'An'Anah yang diriwayatkan oleh mereka sebagai hujjah. Oleh karena itu Ad-Dzahabi mengklarifikasinya dengan berkata dalam kitab Mizan Al I'tidal, "Ibnu Addi telah menyebutkannya dalam 'Al Kamil Zaid mempunyai kredibilitas yang tinggi dan dapat dijadikan hujjah."

Keterangan ini jika diriwayatkannya secara 'An'anah dari para sahabat yang ditemuinya, padahal hadits ini diriwayatkannya dari Atha' bin Yasar seorang tabiin sepertinya? Semoga Allah memberi petunjuk kepada anda.

4. Dia meng-hasan-kan Atsar (pada halaman 82), yang tertera dalam kitab dengan nomor (6/8) dari jalur periwayatan Thaisalah ibnu Mayyas. Dia telah menyebutkannya dari Ibnu Ma'in, bahwa dia telah menguatkan riwayat Thaisalah, konsekwensinya adalah sanad Thaisalah shahih. Inilah yang saya lakukan, dan akan anda dapatkan juga hasil karyanya pada tempat yang lain (hal. 104, nomor 31), yang mana pengarang meriwayatkannya dari jalur lain, dengan redaksi,

"Tangisan kedua orang tua termasuk kedurhakaan dan dosa besar."

Mengapa terjadi kontradiksi seperti ini dalam satu sanad atau satu atsar dan satu kitab? Jawabannya saya mengira bahwa permasalahan tersebut merupakan permasalahan yang dibuat-buat dan kebodohan dalam ilmu ini. Atau setidaknya dia tidak terbiasa mengkaji ilmu ini sehingga la melakukan taqlid pendapat orang lain. Ketika dia menghasankan hadits, dia mengambil kewibawaan Al Hafizh (perawi hadits) yang dikutip takhrij haditsnya tanpa menjelaskan tentang keshahihannya. Dia juga mengutip dari periwayatan As-Suyuthi, bahwa beliau telah menghasankan sanadnya, lalu dia mengikutinya. Tatkala waktu semakin jauh dengan masa As-Suyuthi dan dia mandiri dalam menetapkan hadits, maka dia menetapkan kebenarannya.


Catatan:


Mayyas nama aslinya Ali. Al Mizi membedakan antara Thaisalah bin Mayyas dan Thaisalah bin Ali, sementara Al Hafizh mengatakan bahwa keduanya adalah satu. Pendapat ini yang benar, seperti yang telah saya jelaskan dalam Ash-Shahihah (2898) jilid VI -dia cepat hafalannya insya Allah- Namun Al Hafizh juga lengah dalam memandang Thaisalah ketika dia mengatakan dalam statemennya bahwa riwayat Thaisalah, "Diterima" (maqbul) sebagaimana yang anda lihat. Barang kali, hal ini yang menyebabkan As-Suyuthi lengah dalam ringkasannya pada kitab Ad-Durrul Mantsur (2/146) dengan menjadikan sanad hadits tersebut hasan yang menjadi pemisahan antara Falah Abdurrahman Abdullah dan pen-shahih-annya yang pertama. Wallahu a'latn.


5. Dia berkata dalam hadits Umar berikut (53/72), "Sanadnya dha'if dan para perawinya tsiqah"

Kemudian dia mengomentari kebanyakan perawinya dengan komentar yang tidak sesuai dengan pentadhifannya terhadap sanad hadits tersebut. Sekiranya dia memiliki pengetahuan, niscaya dia menjelaskan illat (sebab) yang menghalanginya untuk menguatkan Hadits tersebut, padahal para perawinya tsiqah (dapat dipercaya), sebagaimana yang sudah menjadi tradisi para ulama yang mempunyai spesialisasi dalam bidang hadits. Akan tetapi dia tidak melakukan hal tersebut sedikitpun, melainkan dia mengikutsertakan manuskrip hadits lain yang marfii' dan hasan, juga menyebutkan dalil dari hadits lain.

Perbaikan dan catatan yang lain

Saya telah menelaah bagian akhir kitab di atas, dua kitab terbitan baru yang kitab aslinya Al Adah Al Mufrad, kemudian saya memberikan komentar dua kitab tersebut dengan dua kalimat yang simpel:

1. Terbitan Darul-Basya’ir Al lslamiyah di Beirut, yang telah diterbitkan dengan judul kitab, "Hadits-haditsnya ditakhrij oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, indek-indeknya dibuat oleh Ramzi Sa'duddin Damasyqiyah". Permulaan halaman keduanya, buku ini diterbitkan atas bekerjasama dengan penerbit As-Salafiyah di Kairo atas lisensi pemiliknya, (Prof. Qushay Muhibuddin Al Khatib). Di bawahnya tertulis, "Cetakan ketiga, edisi lengkap, tahun 1409". Setelah itu tertulis mukaddimah sebanyak satu halaman, yang kiranya ditulis oleh Prof. Qushay. Dalam mukaddimah tersebut disebutkan bahwasanya dia telah mentransfer pentakhrijannya dari syarah kitab As-Sayyid Fadhlullah Al Jailani seraya berkata, "Kemudian kami memberikan tambahan pada kitab-kitab terbitan kami yang lalu, dengan menyebutkan referensi-referensi takhrij hadits yang lebih komplit dari takhrij-takhrij yang ditulis dalam syarah tersebut, sebagai tambahan kepedulian kami."

Saya berpendapat bahwa terbitan yang ketiga ini tidak jauh berbeda dengan terbitan yang lama -sayang sekali- dari segi banyaknya kelemahan-kelemahan ilmiah dan pentahqiqannya dalam satu sisi. Bahkan terbitan ketiga itu sesuai dengan aslinya, kecuali dalam tambahan-tambahan takhrij yang telah disebutkan sebelumnya. Hanya saja, dalam pentakhrijan tersebut telah dihilangkan perkataan Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam mayoritas hadits-haditsnya,

"Bukan sesuatu yang berasal dari Kutubus-Sittah."

Oleh karena itu, saya ingin dia menuliskan kata-kata tersebut, sebagai konsekwensi amanah ilmiah, tetapi dia tidak melakukan hal itu. Bahkan pada tempat yang biasanya disebutkan pentakhrijannya yang dinisbatkan kepada Syaikh Al Jailani. Dia tidak melakukan hal itu, sementara dia menisbatkan hadits (30/39) kepada Abu Daud, padahal hadits tersebut terdapat dalam Shahih Bukhari. Kesalahan ini merupakan kesalahan yang tidak ditolelir dalam bidang pentakhrijan hadits. Dengan demikian tidak boleh menisbatkan pentakhrijan tersebut kepada Ibnu Abdul Baqi, lebih-lebih dia sering terjebak dalam hal yang sama, seperti yang telah diterangkan sebelumnya.

Saya sudah tunjukkan sebagian contoh-contohnya dalam mukaddimah buku ini, apakah hal itu tidak cukup baginya?.

Saya hanya mengatakan, "AM ghalib" (Biasanya), karena saya menemukan dua contoh hadits yang lain dan jarang,

• Dalam hadits (26/34), ketika ustadz Qushay menghilangkan uraian pentahqiqan yang sudah disebutkan, dia juga menghilangkan hadits dan tidak mentakhrijnya, padahal hadits tersebut terdapat dalam Shahih Muslim, sehingga ustadz memberikan kesan negatif -kepada para pembaca kitab terbitan baru- dari pentahqiqan yang tidak sesuai dengan realita yang ada pada terbitan pertama.

• Ketika dia menghilangkan uraian pentahqiqan yang berada dibawah hadits (184/245), maka dia mentakhrij Hadits tersebut dengan menisbatkannya kepada Imam Ahmad karena mengikuti pendapat Syaikh Al Jailani, sehingga dia terjebak dalam empat kesalahan,

  1. Dia tidak menisbatkan pentakhrijan tersebut kepada Al Jailani.
  2. Dia memberi kesan negatif bahwa pentakhrijan tersebut dari pentahqiq.
  3.  Dia menambahkan (takhrij) Al Jailani dan memberikan kesan negatif bahwa tambahan itu dari Al Jailani juga. Lalu dia berkata, "Sanad hadits tersebut shahih". Kadang-kadang dia juga memberi kesan negatif bahwa tambahan itu dari pentahqiq!
  4. Sanad hadits tersebut tidak shahih, karena dalam sanad tersebut -pada dua tempat- terdapat Laits ibnu Abu Sulaim, dia orang yang lemah menurut ulama ahli hadits seperti Al Iraqy, Al Haitsami, Al Asqalani, dan yang lain. Lain halnya dengan Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah, dia menshahihkan Laits dalam komentarnya terhadap Al Musnad. Syaikh Ahmad Syakir adalah orang yang menjadi pedoman Prof. Qushay dalam pentashihan tersebut, maka dia harus diberi catatan mengenai hal ini semuanya, sehingga dia tidak menanggung kesalahan orang lain dan tidak mendorong yang lain berbuat salah.

Adapun terbitan baru yang lain adalah (Daar Alam El Kutub) Beirut tahun (1405 H-1985 M). Sangat disayangkan terbitan tersebut merupakan terbitan yang paling jelek selama saya menelaah kitab ini, karena terbitan tersebut merupakan kutipan apa adanya dari terbitan Salafiyah yang pertama dengan segala kesalahan yang ada, yang akan disebutkan pada tempatnya, dan sebagian kesalahan tersebut telah dijelaskan di depan. Sampai masalah takhrij-takhrij yang ada dikutip pula dari terbitan salafiyah, sekalipun kesalahan-kesalahan tersebut agak berkurang. Dikarenakan tujuan yang ingin diraih oleh penerbit tidak lain adalah menampilkan terbitannya dengan tampilan terbitan yang ditahqiq dan ditakhrij, untuk menyaingi terbitan syar'i, bukan untuk berkhidmah kepada ilmu dan para pembaca.

Sungguh yang paling mengagetkan saya bahwa penerbit tidak berani mencantumkan di covernya : "Terbitan yang ditahqiq" sebagaimana kebiasaan para pedagang semacamnya. Seakan-akan dia merasa dalam benak hatinya bahwa pekerjaannya bukan pekerjaan yang legal, tetapi bagaimana hal ini bisa berkesinambungan dengan pekerjaannya yang lain. Terbitan tersebut tertulis di atasnya : "Disusun dan dipersiapkan oleh Kamal Yusuf Al Huut".

Perkataannya "Disusun" adalah bohong dan dusta yang tidak perlu dijelaskan lagi. Dari uraian di atas anda bisa mengerti, bahwa terbitan tersebut merupakan hasil kutipan dari penerbit Salafiyah, dan terbitan tersebut -seperti terbitan-terbitan yang lain- masih berdasarkan susunan yang dibuat oleh Imam Al Bukhari rahimahullah. Tidak ada yang baru di dalamnya kecuali penomoran terhadap bab-bab dan hadits-hadits yang sesuai dengan metode yang berlaku saat sekarang ini.

Adapun "Dipersiapkan" yang dimaksudkan tadi, maka tidak lain hanyalah pengantar kebohongan yang tersebut di atas dan pengantar tersebut ditanda-tangani oleh Kamal Yusuf Al Huut seraya berkata,

"Tatkala terbetik dalam lubuk hati menyusun kitab Al Adab Al Mufrad, maka saya bersiap-siap dari niatan yang mulia tersebut, dan saya curahkan kemampuan untuk melahirkan pekerjaan ini menjadi jelas dan terlepas dari kesulitan dan kesan negatif."

Seperti itulah dia berucap, mudah-mudahan Allah memberi petunjuk kepadanya. Dia telah menyebutkan dalam pekerjaannya ini dengan ucapan: (Saya mendengar suara hiruk-pikuk (mesin penggiling) dan tidak melihat tepungnya), maka cukuplah bagi dia sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Orang yang merasa kenyang dengan sesuatu yang belum diberikan laksana orang yang memakai dim baju kebohongan."

Catatan: Saya telah menyebutkan sebagian hal tersebut dibawah hadits (308/399, hal 153), bahwa saya telah mendapatkan tambahan Abu Ayyub Al Anshari dari syarah Syaikh Al Jailani, maka saya katakan: bahwa tambahan tersebut terdapat dalam terbitan India juga, sebagaimana tambahan dalam Kitabul Isti'dzan dari kitab Shahih Bukhari (no 6237). Tambahan tersebut dinisbahkan kepada Kitab Al Adab dari Shahih Bukhari oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, padahal lebih baiknya dinisbahkan kepada Al Isti'dzan karena lafazh/redaksi yang ada dalam bab Al Isti'dzan sesuai dengan lafazh yang ada disyarah Syaikh Al Jailani.

Telah saya sebutkan bahwa hadits tersebut juga disebutkan dalam tempat, berbeda dengan kebiasaan yang saya lakukan dalam kitab Shahih Bukhari ini, sambil menyebutkan sebabnya.

Jadi saya katakan:

Tambahan tersebut telah dinisbahkan oleh pensyarah (Al Jailani) dalam (syarahnya) (1/499) kepada Adab As-Shahih dan Al Isti'dzaan' bersamaan. Lafazh tambahan tersebut dalam Al Adah sesuai dengan lafazhnya ditempat yang lain, seperti kebiasaannya (dia) tidak menjelaskan perbedaan antara dua lafazh yang berada di dua tempat dan tidak mengingatkan kesesuaian tersebut. Hal itu tidak menjadi masalah, tetapi ketika pada sanad lafazh yang pertama terdapat Abdullah bin Shaleh dan dia telah dikomentari dengan komentar yang popular, maka yang lebih baik menyokong Abdullah bin Shaleh dengan riwayat Ista'dzana Ash-Shahih, karena Abdullah bin Shaleh dalam riwayat tersebut (meriwayatkan) dari Syaikh yang lain. Saya telah teringat untuk mengharuskan penyokongan ini ketika melihat Al Jailani berkata setelah menisbahkan tambahan tersebut kepada Al Adah wa Al Isti'dzan. Riwayat Abdullah bin Shaleh telah lewat dengan bentuk mauquf pada bab 189.

Yakni riwayat Abdullah bin Shaleh dengan lafazh yang pertama. Ini adalah prasangka murni, karena hadits tersebut marfu', sebagaimana (hadits yang disangka mauquf tersebut) terdapat dalam dua kitab yang telah disebutkan dari Ash-Shahih sebagai konsekwensi dari hal itu, maka semuanya perlu diberi catatan dan peringatan. Allah berada dibalik semua tujuan ini.

Metode Saya dalam Kitab ini:

1. Menghilangkan sanad-sanad yang ada kecuali nama sahabat dan kadang-kdang nama tabiin yang harus ditetapkan, yaitu orang-orang yang ada kaitan dengan hadits atau latar belakang hadits, sebagaimana yang dapat anda lihat pada hadits ke satu misalnya dalam kitab shahih ini.
2. Menghilangkan hadits-hadits yang terulang-ulang, kecuali hadits yang lebih sempurna dan lebih lengkap, maka saya tetapkan hadits tersebut dalam shahih ini Disamping itu saya sertakan juga tambahan-tambahan yang kadang-kadang ditemukan pada hadits-hadits yang lain yang tidak digunakan, seperti yang sudah saya lakukan dalam kitab (Mukhtashar Shahih Bukhari), sebagaimana yang telah dijelaskan dalam mukaddimahnya. Contoh hadits (151/206). Kadang-kadang cara ini memang saya gunakan, karena ada suatu faidah yang terlihat dalam pengulangan hadits tersebut, seperti yang akan anda lihat pada hadits (635/830) dan (910/1195) atau karena hal lain dari kelupaan atau semacamnya.
3. Bab-bab yang tidak ada haditsnya, karena penghilangan tersebut tetap saya sebutkan dan munjukkan dibawahnya tempat-tempat haditsnya pada bab-bab yang lain.

4. Dalam hal ini saya berpegang kepada takhrij yang dilakukan Muhammad Fuad Abdul Baqi yang dia letakkan dibawah hadits-hadits pada terbitan salafiyah karya Muhibbuddin Al Khatib rahimahullah yang dia sebutkan di atas bagian pertama, diantaranya bahwasanya dia adalah : "Yang mentakhqiq, memberi nomor pada bab dan haditsnya, dan memberi takliq (komentar) atas hadits tersebut."

Hal itu karena takhrij hadits ini memiliki nilai ilmiah, sampai takhrij yang dikatakan Muhammad Fuad Abdul Baqi, "Tidak ada dalam Kutub As-Sittah" dan semacamnya, sekalipun dalam takhrij-takhrij tersebut dia terjebak dalam banyak kelemahan, karena dia tidak mengetahui bidang takhrij ini, terutama ilmu Jarh wa At-Ta'dil dan Musthalah Al Hadits. Dia -rahimahullah- tak lebih sebagai seorang sesuai dengan identifikasi yang dilakukan oleh ustadz Az-Zirkili rahimahullah dalam kitabnya Al A'laam dengan perkataannya (6/333), "Alim dalam bidang penyusunan hadits dan pembuatan indeks hadits serta ayat-ayat Al Qur'an."3

Oleh karena itu saya cari kesalahan-kesalahan dia dalam kelemahan-kelemahan yang tampak tanpa bertujuan sengaja mencari kesalahan-kesalahannya. Saya jadikan takhrij-takhrij tersebut berada di antara dua tanda kurung ( ). Dalam takhrij tersebut, kitab saya tandai dengan () dan bab saya tandai dengan (), sedang Kutub As-Sittah saya tandai dengan rumus-rumus yang sudah popular: Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, Ibnu Majah.

5. Saya letakkan didepan takhrij-takhrijnya tingkatan hadits dari yang sluihih atau yang dha'if, karena mentakhrij hadits merupakan perantara untuk mengetahui tingkatan hadits. Apabila pentakhrij tidak memberikan komentar mengenai shahih dan dha'ifnya hadits ketika mentakhrij, maka tidak ada fungsi yang bisa disebutkan dari takhrij itu berkaitan dengan matan hadits. Menurut dia, hal tersebut seperti orang yang berwudhu tapi tidak shalat. Oleh sebab itu dalam semua karangan dan takliq (komentar) saya, senantiasa dijelaskan mengenai tingkatan haditsnya. Apabila hadits tersebut telah ditakhrij dalam sedikit kitab atau takliq-takliq saya, maka aku alihkan kepada sebagianya, untuk memudahkan orang yang ingin mengetahui tingkatan hadits secara mendalam.

6. Sesuai dengan kemampuan saya, dalam kitab Shahih ini saya selalu memilah-milah hadits yang tetap karena dzatnya dari hadits-hadits yang tetap karena ada hadits yang lain.

Berkaitan dengan hadits yang tsabit (shahih) karena dzatnya, maka saya katakan, "Shahihul isnad" atau "Hasanul isnad", dan hadits yang tsabit karena hadits lain, maka saya katakan "Slwhih lighairihi", atau "Hasan lighairihi". Hal ini terjadi jika hadits tidak mustahil untuk ditakhrij.

Pada akhirnya pemilihan ini saya tetapkan dalam kitab ini, karena itu lebih kuat dalam menjelaskan kenyataan. Sekiranya saya menghadap urusan saya, niscaya saya tidak bisa berpaling, maka mesti saya lakukan hal itu dalam semua karya shahih milik saya yang lain, seperti Shahihul Jaami, Shahihut Targhib, dan Shahihus Sunan Al Arba'ah. Barang kali menjadi mudah bagi saya menelaah kembali mengenai hadits-haditsnya dan mengadakan pemilahan hadits-hadits tersebut. Selain hal itu memberikan penjelasan yang lebih kuat, hal itu juga bisa mematahkan Qiil dan Qaal (pendapat yang tidak jelas pengucapnya). Kadang-kadang sebagian orang yang tidak memiliki pengetahuan mencoba menelaah ilat yang terdapat dalam sanad-sanad hadits dari hadits-hadits yang shahih karena hadits yang lain (shahih lighairihi), lalu dia mengira bahwa hadits tersebut salah, akhirnya menyulitkan dirinya. Kadang-kadang dia menjadikan hadits tersebut sebagai bahan bercanda dan menuduh bodoh. Lebih-lebih jika orang tersebut dalam hatinya terdapat penyakit wal 'lyadzubillah. Demikian juga As-Saqqaaf dan orang-orang yang sejenisnya dari orang-orang yang membuat kerusakan di bumi dan tidak memeliharanya, yaitu orang-orang yang menyiapkan dirinya untuk mencari-cari kekurangan-kekurangan orang-orang yang baik. Mudah-mudahan Allah mencukupkan kesalahan mereka bagi orang-orang mukmin.

7. Ada beberapa hadits yang sebagian kalimat-kalimat/kata-katanya tidak tsabit (diriwayatkan) ketika dikritisi secara ilmiah. Jadi dengan pedoman ini hadits-hadits tersebut patut ditulis dalam kitab yang lain Dha'iful Adab Al Mufrad. Akan tetapi jika melihat asal-usul hadits-hadits tersebut, maka hadits-hadits tersebut lebih baik dimasukkan ke dalam kitab Shahih ini/ Shahihul Adab Al Mufrad. Bertolak dari sinilah, maka saya sebutkan hadits tersebut dalam kitab Shahih, kemudian dalam kitab Ad-Dha'if secara ringkas dengan peringkasan yang sesuai seperti hadits Abu Hurairah di belakang nanti nomor (144/196). Lalu dari hadits itu saya hilangkan kalimat yang tidak patut dan saya letakkan kalimat ini bersamaan ujung yang awal dari hadits itu dalam Ad-Dha'if (36/196)

Kadang-kadang kalimat tersebut kalimat yang tidak ada fungsinya untuk disebutkan, maka dari itu tidak saya sebutkan hadits tersebut dalam Ad Dhaif, seperti yang terjadi pada hadits (150/203), dan hadits-hadits tersebut aku beri catatan kaki seperti hadits (539/702)

Kadang-kadang kalimat tersebut berupa kalimat sempurna yang tidak ada hubungannya dengan kesempurnaan hadits, maka saya sebutkan kalimat tersebut dalam Ad Dha'if sambil menyebutkan bahwa utuhnya hadits tersebut adalah shahih, sebagaimana yang anda lihat dalam As-Shahihnya nomor (624/814) dan dalam Ad-Dhai'f dengan nomor (132/814).

Kadang-kadang ada satu hadits yang memiliki dua riwayat, dan dalam salah satu riwayat tersebut terdapat kisah yang tidak benar dan tidak ditemukan dalam riwayat yang lain, maka kisah tersebut saya sebutkan dalam Ash-Shahih seperti hadits Aisyah yang menjelaskan mengenai Ibnul Asyirah (985/1311) dan (56/338).

Barangkali hadits tersebut diriwayatkan dengan dua sanad dari dua orang sahabat mengenai satu problem yang terjadi pada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan salah seorang sahabat tersebut memiliki nama 'alam (panggilan) yang tidak sesuai dengan dengan namanya pada riwayat lain, sehingga nama yang pertama tersebut adalah nama yang mahfudh (terpelihara). Jadi saya sebutkan hadits tersebut dalam Ash-Shahih (631/821), sedang namanya yang lain tidak terpelihara (tidak mahfudh), maka aku sebutkan hadits tersebut dalam Adh-Dhaif (138/ 232), padahal persoalannya sama. Oleh karena itu diharapkan ada perhatian khusus terhadap perbedaan-perbedaan ini, sehingga kita benar-benar jelas dan terang (menghadapi) hadits-hadits Rasul shallallahu 'alaihi wasallam, dan kita tidak menisbahkan kepadanya sesuatu yang tidak pernah diucapkannya yang menyebabkan kita menyalahi -mudah-mudahan Allah tidak memperkenannya- hadits-hadits Rasul yang sangat banyak, diantaranya:

"Hati-hatilah kalian memperbanyak hadits daku. Barang siapa berkata kepadaku, maka janganlah berkata kecuali yang haq atau yang benar. Barang siapa berkata kepadaku sesuatu yang tidak pernah aku ucapkan, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka." (HR. Ibnu Abi Syaibah dan yang lain) Hadits tersebut dikeluarkan dalam kitab Ash-Shahih (1753)dan lihatlah kitab milik saya Sifatu Shalatin Nabi (hal: 41 terbitan baru).

Pada akhirnya hadits ini dan hadits-hadits yang searti yang mendorong saya sejak awal masa muda sampai masa tua saya untuk menghabiskan sebagian besar waktu dan kegiatan saya guna berkhidmah terhadap hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, membedakan yang shahih dan yang dha'if dan mengeluarkan (mengistinbatkan) hukum-hukum fikih dari hadits tersebut dalam rangka memberi nasihat untuk Allah, untuk kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, dan untuk para pemimpin umat Islam serta umat Islam secara umum. Dengan demikian mudah-mudahan Allah memberikan kemanfaatan kepada orang yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya yang mukmin. Pengaruh (atsar) dari usaha tersebut mudah-mudahan muncul di dunia Islam -dan semoga di dunia Barat-dengan suatu kemunculan yang tidak dibenci kecuali oleh orang yang iri hati atau orang dendam yang paling buta.

Oleh karena itu, aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala lantaran (wasilah) dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang luhur kiranya memberikan karunia-Nya kepada saya dan menjadikan amal (usaha) tersebut ikhlas karena-Nya, menerima amal tersebut dari saya dan menyimpan pahalanya untuk saya, sampai (pada hari harta-harta dan anak-anak tidak akan bermanfaat kecuali orang yang menghadap kepada Allah dengan jiwa yang bersih).

Maha Suci Engkau ya Allah, dan dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah dengan benar kecuali Engkau. Saya memohon ampun kepada-Mu, dan aku kembali kepada-Mu.




Ditulis oleh

Muhammad Nashiruddin Al Albani Abu Abdurrahman



Oman, 25 Syawwal 1413 H.



_______________

1 Dari Mukaddimah Fadllullah Ash-Shamad (1/17)
* Inah: Menjual barang dengan batas waktu tertentu, lalu menjualnya secara konlan dengan harga yang lebih sedikit (rendah)
2 Al Ahaadits Ash-Shahihah (11)
3 Sebagian keanehan-keanehan yang ada pada terjemah (biografinya) bahwa dia dahulu menjadi penerjemah di Bangk Perancis dan berpuasa menahun. Dia terlihat dalam fotonya : Tidak berjenggot (Haliqul Lihyah), berkumis panjang (Maufurus Syarib), dan memakai dasi. Mudah-mudahan Allah mengampuninya.

This entry was posted on Thursday, 4 March 2010 at 06:30 . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 comments

Post a Comment